Wednesday, December 16, 2015


KERAJAAN SOPPENG SULAWESI SELATAN







Berasal dari kajian naskah lontara (filologi), Tinco yang terletak di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan merupakan cikal bakal sejarah perkembangan masyarakat di daerah ini. Konon kabarnya orang pendahulu atau moyang suku bugis penduduk asli soppeng, menjadikan salah satu lokasi, sebagai tempat beriteraksi dengan penguasa langit dan bumi berdasarkan keyakinan yang dianut pada zamannya. Dari data sejarah berupa naskah-naskah lontarak Attoriolonna Soppeng, meriwayatkan asal muasal terbentuknya sistem pemerintahan Soppeng yang diawali turunnya seorang titisan dewa yang disebut Tomanurung (orang yang turun dari langit) di daerah Sekkanyili. Hal penting yang dapat ditangkap dalam uraian diatas bahwa pada umumnya tempat-tempat yang disebutkan, memiliki peninggalan artefaktual yang membutuhkan sinkronisasi dan interpretasi data sejarah dan arkeologis.
Daerah Tinco disebut sebagai wilayah yang terjadi setelah masyarakat Soppeng berpindah dari Gattareng (daerah pegunungan) menuju permukiman di daerah-daerah di sekitar pinggir sungai atau kaki bukit yang datar. Selain itu, disebutkan pula bahwa Tinco sebagai ibukota kerajaan Soppeng Riaja dan suatu lokasi terdapatnya kisah mallajang (raib) Tomanurung Latemmamala yang kemudian diabadikan dalam bentuk monumental yang berupa penancapan batu andesit bercungkup.
Kawasan situs Tinco yang bertopografi perbukitan, landai, dan di sebelah baratnya terdapat aliran sungai Lawo, adalah relung ekologis yang sangat potensial dan strategis untuk dijadikan sebagai tempat beraktivitas manusia, sebagaimana yang tampak dalam pola distribusi temuan artefaktualnya. Temuan-temuan berupa dakon, lumpang batu, batu temu gelang, batu bergores, dan menhir memperlihatkan penataan yang bersifat permanen dan menandai kawasan ini sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan religi. Untuk itu, uraian menyangkut ciri-ciri dan pola sebaran artefaknya, dapat didekati dengan dua pandangan yaitu keruangan atau pemukiman dan pendekatan idiologis.
Pada waktu Matoa Tinco mengetahui kedatangan Petta Manurunge di Sekkanyili, maka berita tersebut disampaikan kepada Matoa Botto, Matoa Ujung dan Matoa Bila, untuk diberitakan kepada orang-orang yang bermukim di Soppeng Rilau. Setelah mengetahui berita itu maka, orang-orang dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja mengambil kesepakatan. Dari dialog resmi antara Petta Manurunge dengan para Matoa, terjadilah kesepakatan. Pada saat itu hadir semua para bissu meramaikan kerajaan, dan membawa Tomanurung ke Soppeng di rumah Matoa Tinco, bersama dengan itu diberikan sawah kerajaan di Lakelluaja.
Kejadian yang digambarkan dalam lontara tersebut belum diketahui secara pasti, namun menurut perkiraan beberapa sejarawan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-12/13 Masehi. Demikian pula dengan tokoh yang disebut Tomanurung tidak diketahui asal usulnya, namun tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang akhirnya disepakati sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Latemmamala. Dalam mufakat antara Tomanurung Latemmamala dengan para Matoa yang berjumlah enam puluh, disepakati bahwa Tomanurung akan melindungi dan mangayomi serta berusaha memakmurkan rakyatnya. Setelah Latemmamala diangkat sebagai Datu (raja) Soppeng Riaja yang pertama, Latemmamala memberitahukan pula bahwa di Gowarie (sekitar 20 km di sebelah selatan Watansoppeng) muncul Tomanurung lain yang bernama Manurunge ri Gowarie. Dia merupakan seorang putri yang kemudian dijemput pula oleh para Matoa dan atas kesepakatan bersama, Latemmamala diangkat sebagai Datu Soppeng Riaja dan Tomanurunge ri Gowarie diangkat sebagai Datu Soppeng Rilau. Selanjutnya dalam silsilah raja-raja Soppeng yang dikenal merupakan keturunan Latemmamala.


STRUKTUR KERAJAAN BONE





SILSILAH RAJA BONE
Riwayat Raja Bone (1) : Manurunge’ ri Matajang
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung tentang Riwayat Raja – raja Bone. Bone merupakan salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukota Kabupaten ini, Watampone memiliki luas wilayah 4.559 km² dan secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur Kotamadya Makassar, berada pada posisi 4°13′- 5°6′ LS dan antara 119°42′-120°30′ BT, pada sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Maros, Pangkep dan Barru dan sebelah selatannya dengan Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Di bekas wilayah kabupaten inilah pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang merdeka dan berdaulat, yaitu Kerajaan Bone. Rajanya digelari Arung Mangkaue ri Bone, yang artinya Raja yang berkedudukan di Bone. Kerajaan Bone berdiri sekitar Abad XIV dengan raja pertamanya, Manurunge’ ri Matajang. Rajanya yang terkenal diantara Arung Palakka Petta Malampeq Gemmekna, yang oleh Belanda digelari “Radja Palacca, Koningh der Bougis”. Sebagian besar penduduknya berpenutur Bahasa Bugis, biasa juga disebut To Ugi Bone (orang Bugis Bone). Salah seorang putera terbaik Bone pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, beliau tak lain adalah HM Jusuf Kalla.
* * *
Hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau Patturioloang (cerita tentang Orang – orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa raja pertama kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah Tumanurung (bahasa Makassar) atau TomanurungE (‘tu’ atau ‘to’ berasal dari kata ‘tau’ berarti orang sedang ‘manurung’ berarti yang turun dari langit atau kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, istrinya yang kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan dinasti kerajaan juga biasa disebut TumanurungE (Makassar : Tumanurung bainea, Bugis : Tomanurung makkunrai). (Makkulau, 2005).
Kronik Bone memulai cerita masa awal kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo dimana dijelaskan masa sebelum datangnya Tomanurung sebagai masa kekacauan yang berlangsung selama tujuh pariyama (generasi). Menurut hitungan lama, satu pariyama sama dengan masa 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka keturunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun sebelum kemunculan Tomanurung. Bone dan negeri - negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang luar biasa. Dalam Lontara’ Akkarungeng ri Bone, diketahui bahwa setelah berakhir keturunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri - negeri diwarnai dengan kekacauan karena tidak adanya Arung (raja) yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang antar kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan. Dalam istilah lokal, hal ini disebut saling memakan bagaikan ikan (bugis : sianre bale). Kelompok - kelompok kaum saling bermusuhan dan berebut kekuasaan dimana yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. (Makkulau, 2007).
Nanti setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Kemunculan Arumpone (Raja Bone), “ManurungE ri Matajang Mata SilompoE”, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras. Setelah keadaan itu reda, tiba - tiba di tengah padang luas muncul orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui asal usul kedatangannya, maka orang menyebutnya ’Tomanurung’.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai Tomanurung adalah untuk mengangkatnya menjadi Arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka.
Orang banyak berkata, ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata, ”Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata, ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Di tempat yang dituju, nampaklah Tomanurung yang sesungguhnya duduk di atas batu besar dengan pakaian serba kuning dengan ditemani tiga orang yaitu : satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.
Tomanurung berkata, ”Engkau datang Matowa ?”
MatowaE menjawab, ”Iye, Puang”.
Barulah orang banyak mengetahui bahwa yang disangkanya Tomanurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati Tomanurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada Tomanurung : ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi Arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
Tomanurung menjawab : ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara Tomanurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). Tomanurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. Arumpone pertama ini kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanua, beberapa riwayat menyebutnya ada lima bersaudara. Yang pertama kali dilakukan Manurunge ri Matajang adalah mappolo leteng (menetapkan hak - hak kepemilikan orang banyak), meredakan segala bentuk kekerasan dan melahirkan hukum adat (bicara) serta menentukan bendera kerajaan yang dinamai WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan, ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummase’ untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”. Beberapa saat setelah mengucapkan kalimat perpisahan itu, dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan munculnya kilat dan guntur saling menyambar diakhiri dengan menghilangnya (mallajang) ManurungE ri Matajang dan isterinya, ManurungE ri Toro dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran dan takjub. (***)
B E R S A M B U N G . . . . .
Riwayat Raja Bone (2) : LA UMMASE

Gapura Bone (foto : google)
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone. (Makkulau, 2009)
La Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai rakyatnya karena selain merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan seperti berdaya ingat tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana. Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002)
Dengan diplomasi politik yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II (1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur, tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”. (Kasim, 2002). Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya nantinya menggabungkan diri dengan Bone.
Sasaran upaya perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu ditujukan ke arah pantai Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang terletak di pantai barat Teluk Bone). Cellu pada masa itu menguasai Bandar yang sekarang menjadi Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas daerah pantai ini, sangat strategis artinya, dilihat dari segi politik dan sosial ekonomi. Karena suatu Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim, 2002).
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan, ”Kalau Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya dan ditanam tembuninya”.
Tidak berapa lama lahirlah anak laki - laki sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka La Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu menyakitkan hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’ dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’ (menyatakan ikrar setia).
Dilantiklah La Saliyu Karampelua kecil oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya menjadi Arumpone. Gelar Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau, 2009) (***)
B e r s a m b u n g . . . . .
Riwayat Raja Bone (3): La Saliyu Karempalua
Peta wilayah Bone saat ini (foto : google)
MASIH bayi sudah menjadi raja negeri besar. Inilah yang terjadi pada diri Karempalua karena sudah menjadi ketetapan pamannya, Raja Bone II La Ummase’. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedangen Tana (Perdana Menteri) adalah To Sulewakka.
Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampelua mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang Palakka tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone. La Saliyu Karampelua dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Ata’ alena (hamba sendirinya) dikeluarkan dari Saoraja (istana) dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone ini bepergian jauh.
La Saliyu Karampelua sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat - sifat rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara - suara besar dan aneh. Arumpone ini dikawinkan orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo, ana’ pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa dan We Pattana Daeng Mabela MakkaleppiE Arung Majang. Oleh Arumpone Petta Karempalua, sebagian orang Bukaka dibawa ke Majang untuk menjadi rakyat MakkaleppiE yang kemudian mendirikan Sao LampeE ri Bone, yang diberinya nama Lawelareng. Sehingga digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng.
Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama, Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)
Pembagian tersebut menunjukkan struktur organisasi pemerintahan Kerajaan Bone dibawah La Saliyu Petta Karempalua. Dengan membagi Bone atas tiga wilayah, berarti telah meletakkan pola desentralisasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan pragmatis luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Bone pada masa itu. Menurut Prof Mr. Muhammad Yamin, “Raja Bone Petta Karempalua adalah Raja Bone pertama yang menetapkan pemakaian bendera merah putih sebagai bendera Kerajaan Bone” . Muhammad Yamin menulis bahwa pada tahun 1398 – 1470, Raja Bone bernama Kerampalua mengibarkan bendera merah putih, yaitu Bendera Woromporong berwarna merah dan umbul – umbul pinggirnya di kiri – kanan berwarna putih, cellae riaya tau cellae ri abeo”. Fakta ini menurutnya menunjukkan bahwa Kerajaan Bone telah meletakkan pola dasar yang kuat untuk menjadikan ”Bendera Merah Putih” sebagai bendera negara. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Kerajaan – kerajaan yang telah menyatakan diri menjadi bagian wilayah kerajaan Bone, dan tidak termasuk ke dalam salah satu wilayah koordinatif tersebut, mereka dijadikan wanua palili dengan status otonom. Kerajaan – kerajaan otonom yang berstatus wanua palili Bone antara lain : Kaju, Pattiro, Lima Wanua Rilau Ale. Kerajaan Palakka diperintah langsung oleh Raja Bone III ini karena Palakka adalah kerajaan pusaka dari ayahnya, La Pattinkeng. (Kasim, 2002).
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas (Matthes 1864, vol.1 : 466 – 68 dalam Andaya, 2006). Penguasa - penguasa berikutnya disebut telah meletakkan dasar bagi kemakmuran ekonomi. Penguasa ketiga Bone, La Saliyu Petta Karampelua, disanjung karena usahanya dalam meningkatkan jumlah tanah garapan dan pengetahuannya untuk urusan – urusan kerajaan (Matthes, 1864, vol. 1 : 471-2 ; Bakkers 1866 : 176-7 dalam Andaya, 2004).
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.
Anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenri Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’. Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone).
Setelah genap 72 tahun menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa, ”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud menyerahkan kekuasaan sebagai Arung Mangkau’ di Bone kepada pengganti saya, We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE”. Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone, ”Di samping itu, saya menyerahkan kekuasaan dan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”. Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja setelah menyampaikan pewaris takhtanya, Arumpone Petta Karempalua meninggal dunia

KERAJAAN BONE SULAWESI SELATAN





A. Asal Usul Kerajaan Bone
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.[1]
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.
B. Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.[2]
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).[3]
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.[4]
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)[5]
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.[6]
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong[7]. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
C. Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.[8]
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).[9]
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”.[10] Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.[11]
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
D. Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.[12]
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.[13]
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.[14]
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone. [15]
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
E. Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.[16]
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).[18]
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim (2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.
F. Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.[19]
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.[20]
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.[21]
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.[22]
KESIMPULAN
A. Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Dan ditunjukkalah ia sebagai Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M
B. Pada Proses awal Perkembangan Kerajaan Bone yang pada tiap-tiap Raja Bone mulai dari Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, hingga Raja Bone VI yaitu La Uliyo Bote’E inilah Bone membentuk sistem pemerintahannya, sistem sosial dan ekonomi. Bahkan hubungan politik mulai dibentuk pada proses awal ini.
C. Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut dan juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.Perjanjian ini ada pada masa La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
D. Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Islamisasi pada Kerajaan Bone tidak ditempuh dengan jalan damai, melainkan melalui musu asselengeng yaitu perang peng-Islaman. Pada tahun 1611 M setelah Wajo dan Soppeng masuk Islam, Bone pun turut mengikuti berkat agresi militer Gowa. Hingga secara resmi tahun1611 pada masa La Tenripale Arung Timurung. Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo.
E. Berkat bantuan dari Pasukan Hindia Belanda Gowa berhasil ditaklukkan oleh persekutuan Bone-Belanda dibawah pimpinan Arung Palakka. Yang mana setelah Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
F. Runtuhnya Kerajaan Bone setelah serangan militer Belanda pada tahun 1905 pada masa pemerintahan Raja terakhir Bone La Pawawoi Karaeng Segeri. Yang akhirnya meninggal dalam tahanannya di Bandung pada tahun 1911 M


SKETSA KERAJAAN WAJO SENGKANG SULAWESI SELATAN
by penguasa danau tempe


Dalam prospektif sejarah, Kabupaten Wajo Sulsel menyimpan kenangan sejarah yang cukup unik. Salah satu kemajuan dalam bentuk pemerintahannya tempo doeloe adalah Republik aristokrasi di abad ke XVI dengan memproklamasikan kemerdekaan bersemboyan: “Maradeka To Wajoe, najajiang alena maradeka, de assimaturusennami na popuang. Artinya : orang wajo merdeka sejak dilahirkan, hanya mereka abadi, sipemilik negeri (rakyat) semuanya merdeka, hanya hukum yang disetujui bersama yang mereka tertuan”. Kabupaten Wajo, di Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki iklim tropis. Suhu udara bervariasi antara 29 hingga 30 derajat Celcius. Di musim kemarau antara Juli hingga Oktober. Sedang di musim hujan, April hingga Juli. Musim bersuhu lembab mulai Nopember hingga Maret. Curah hujan rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan. Kesuburan lahan pertanian dapat dikemas dalam paket wisata agro, terletak di ketinggian antara 0 hingga 500 meter dari permukaan laut. Wajo dikenal sebagai penghasil kain sutra Sengkang. Wisatawan tinggal pilih jenis produksi alat tenun Bukan mesin (ATBM) dan gendongan yang beragam antara lain : sarung, baju, blus, dasi, atau cendera mata berupa tas pesta, kipas dan sepatu. Di desa Gilireng Kec. Maniangpajo, terdapat tambang Gas alam yang memiliki deposit yang cukup besar sekitar 563.0 BSCF dan 100 MESCDF gas delivery. Potensi gas alam tersebut telah dieksploitasi buat keperluan energi listrik sejak tahun 1999 yang mesin pembangkitnya (PLTU) dibangun di Patila Kecamatn Pammana. Sementara Danau tempe dikenal sebagai penghasil ikan tawar, juga telah menjadi kawasan wisata. Danau tempe terbentang laksana cermin raksasa di sisi barat ibu kota Kab. Wajo yaitu sengkang. Danau ini memiliki pesona alam yang elok dan unik. Perkampungan nelayan primitip bernuansa Bugis berbanjar sepanjang tepian danau. Rutimitar keseharian dan aktifitas masyarakat nelayan  penangkap ikan yang berlatar belakang rumah-rumah terapung memiliki ciri khas kehidupan dipermukaan danau. Dikala senja apalagi disaat bulan purnama cukup mengasikkan. Satwa burung beraneka ragam yang bisa dikomsumsi sebagai pangan ikan. Setiap mata memandang, sekeliling Danau Tempe terdapat satwa burung, binatang reptil seperti biawak bersisik (Salipui Inzar) kelihatan disana. Selainnya, kadang ada buaya muncul. Bunga-bunga beragam jenis, rumput air serta aktifitas pertanian/perlandangan rakyat pinggiran danau merupakan pemandangan elok dan menarik sekali. Setiap tahun masyarakat nelayan menggelar pesta “Maccera Teppareng” sebagai pernyataan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil yang telah diperoleh dari Danau tempe. Pesta ritual nelayan ditepi danau itu telah dimasukkan  kedalam “of even parawisata Sulsel” digelarkan samaan dengan pelaksanaan vestifal Danau tempe setiap Agustus tambah menarik disertai berbagai atraksi seni dan budaya masyarakat Wajo. Ada carnaval perahu hias bugis, lomba perahu antar nelayan danau dan pertunjukan berbagai permainan tradisional rakyat seperti mappitupitu (Layang-layang bermusik). Berjarak dua kilometer arah timur kota Sengkang, dekat danau lampulung, Pemda Wajo telah membangun kawasan budaya berlokasi seluas 4 HA di kampung Atakka’e. Disitu terdapat bangunan duplikat rumah ada. Salah satu diantaranya yang terbesar dari bangunan duplikat lainnya, adalah Seoraja (Istana Raja) La Tenribali salah seorang raja (arung matoa wajo), ukuran bangunan 18 m x 54,4 m memiliki tiang berjumlah 101 buah terbuat dari kayu Ulim berdiameter hingga 50 cm. Tinggi hubungan mencapai 15 m. Rumah-rumah adat di atakka’e itu menghadap ke danau lampulung, dipersewakan sebagai tempat peristirahatan bagi umum (pengunjung) dilengkapi fasilitas penginapan modern seperti, kamar ber AC. Pelayanan disuguhkan dalam budaya tradisional masyarakat bugis baik aktraksi kesenian, maupun menu makanan. Sekitar 12 Km bagian timur Kota Sengkang terdapat pula danau Tosora. Tempo doeloe (era kerajaan), Tosora berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Wajo dikelilingi delapan danau kecil. luas Tosara 1,428 Ha. Desa ini tampak anggung. Terdapat banyak peninggalan sejarah purbakala. Sebuah benteng kuno dibangun oleh La Madduk Kelleng sebagai pusat pertahanan nasional tersohor di zamannya membentuk armada laut. La Madduk Kelleng pernah menjadi raja Pasir di Kaltim. Kompleks makamnya tahun 19658-1754 terletak di Kota Sengkang – dimana terdapat pula makam Sultan Pasir (mertua Maddukkelleng), yang tewas dalam peperangan melawan Belanda. Makam yang unik lainnya berbentuk pamor keris La Maddukelleng melawan Belanda sampai ke Sumatra dan Kalimantan Timur. Beliau pengikut Raja Pasir membangun kota Samarinda. Atas itula beliau ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional. Di Tosora terdapat makam raja-raja yang berkuasa dimasa jayanya memimpin wajo seperti : Makam La Tadampare Puangri Maggalatung, La Tenri Lai’to Sengngeng, La Mangkace to udamang. Makamnya uni ada seperti Sirip Ikan, ada makam tiga bintang enam terbuat dari batu sadiman sebagai pengaruh kebudayaan di Wajo sebelum Islam. Setelah islam masuk di Wajo, terdapat makam bernisan meriam kuno puing bekas Gedong (gudang amunisi/mesiau) kerajaan Wajo-sebuah mesjid kuno dibangun tahun 1621 ada sumur (bung) Perawi tempat prajurit-prajurit kerajaan Wajo dimandikan sebelum terjun kemedan perang. Di seputar kota Sengkang terdapat sejumlah Goa (terowongan) bekas tempat perlindungan/pertahanan serdadu Jepang dimasa perang dunia II berkecamuk. Tempat iut amat menarik untuk wisata petualangan (adventure).